Pertemuan
itu, pertemuan yang tanpa disadarinya. Entah yang keberapa kali ia
diperhatikan oleh pemuda itu, Ia tidak sadar. Bahkan tidak mengenal
siapa lelaki yang menjumpainya. Di statiun kereta api, lelaki itu datang
menawarkan minuman.
andi: “siang mbak, maaf , sepertinya mbak kehausan. Silahkan mbak”
pemuda itu menyodorkan minuman, sambil memberikan
senyuman terbaik yang dimilikinya. Rizka sambil tersenyum kejut dan
datar, melihat pemuda yang berdiri di sekitar tempat ia duduk.
Rizka: “terimakasih mas, maaf mas tidak usah repot repot mas. Saya ada minuman juga mas”.
Riska mengeluarkan air mineral dari tas ranselnya. Sambil tersenyum
datar menunjukkan minumannya pada pemuda itu, dengan maksud halus
menolak tawaran pemuda itu. Tanpa basa basi pemuda ini langsung
mengambil posisi duduk di sebelah riska, hanya berjarak 30 cm posisinya.
Tanpa aba-aba riska langsung sedikit menggeser posisinya sambil menaruh
tas ransel di antara ia dan pemuda itu. Andi hanya diam dan melirik
riska dari ujung matanya. Ia melihat wanita berkerudung ini sedang
menunduk dalam-dalam sambil membaca buku yang sedari tadi di pegangnya.
Sudah lima menit keheningan yang tercipta. Andi memberanikan diri memulai percakapan.
Andi: “mbak mau kemana? Boleh saya temani?” .
pertanyaan andi membuat riska diam tak bergerak. Ada rasa khwatir
yang hadir di hatinya. Siapa pemuda ini? Aku tidak boleh terlihat takut
dan lemah di hadapannya, itu yang terlintas di pikiran riska.
Riska : “saya mau pulang mas, tadi dari rumah teman”
Andi : boleh saya temani mbak?
Riska : “terimakasih mas, saya terbiasa sendiri mas, maaf merepotkan mas”
andi : “saya tidak merasa di repotkan mbak, malah saya senang bisa
mengawal mbak, mbak tidak usah takut, saya pemuda baik kok mbak. ”
riska : “bukan gitu mas, saya tidak mengatakan mas pemuda yang tidak
baik, hanya saja saya tidak terbiasa ditemani begini sama laki-laki
mas. Saya sedikit canggung mas”
andi: oh ia, kenalkan , nama saya andi. Anak kos disekitaran komplek mbak”.
sambil mengulurkan tangannya andi tersenyum pada riska, ia tersenyum
semanis mungkin yang dia punya. riska hanya tersenyum datar
mendengarkan penjelasan andi tanpa melihat ke arah pemuda itu.
riska: “saya , riska mas. Oh kita satu komplek ya mas, maaf ya mas saya benar benar tidak tahu”
Tanpa menjawab uluran tangan andi. riska tidak tau harus bicara apa.
Dia hanya diam saja. Serba salah, karena ia merasa, masa dengan
tetangga sendiri dia tidak kenal. Tapi pikiran itu semua ditepisnya, kan
biasa tidak tau toh, memang tidak pernah ketemu.
Tidak lama kemudian kereta api datang, andi: "mbak riska, yuk buruan
siap-siap nanti kita ketinggalan kereta mbak". Riska tersadar dari
lamunannya , entah apa yang sedang ada dalam pikirannya. Andi pun
mempersilahkan riska jalan duluan, namun riska mempersilahkan andi yang
duluan berjalan. Riska menyusul di belakang kira-kira 3 m. riska memilih
tempat duduk yang agak tersudut dari belakang andi. Ia tidak ingin
berada di depan andi, baginya itu sangat tidak nyaman, berada di depan
laki-laki yang baru saja dikenalnya. Andi tidak mengerti dengan sikap
riska yang memilih tempat tersudut di belakangnya, padahal andi telah
memilih tempat supaya mereka bisa berbincang lebih jauh.
Setengah jam perjalanan , tidak terasa mereka sudah sampai di
stasiun pemberhentian selanjutnya. Andi turun disusul riska. Mereka
berjalan berjarak 5 m. andi mencoba berjalan pelan-pelan, riskapun
semakin memperlambat jalannya. Membuat andi semakin bingung, padahal ia
hanya ingin berbincang saja. Akhirnya andi memberanikan diri melangkah
mundur menghampiri riska dan menyamakan langkah. Jarak mereka 1 meter
berdampingan. andi langsung memulai pembicaraan
Andi : “mbak, maaf mbak aku mau bertanya, kenapa jalannya lama
sekali?, padahal aku banyak sekali yang ingin aku tanyakan ke mbak lho,
aku kan bingung mau jadinya kalau jaraknya jauh sekali”
Riska : “eh , ia maaf mas. Tidak kenapa- kenapa. Apa yang ingin ditanyakan mas?”
Andi: apa saja mbak, yang penting tentang mbak riska”
Riska: “banyak sekali berarti yang ingin ditanyakan, sepertinya tidak cukup waktunya mas”
Andi: “mbak lucu juga ya, kan tidak mesti di borong hari ini mbak, pertanyaan saya mbak”
Riska diam dan tersenyum saja. Dia langsung sadar siapa pemuda yang
sedang dihadapinya. Ia pun mencoba membaca bagaimana karakter pemuda ini
dari gaya bicara dan jalannya serta caranya yang to the point. Riska
pun mencoba menyesuaikan diri.
Andi: “mbak lahir tahun berapa?”
Riska: “tahun kelahiran saya sepertinya tidak terlalu penting mas, karena sepertinya , mas andi itu di bawah saya mas.
Andi “masa’ ia mbak? Mbak salah ni.
andi hanya tersenyum kejut mendengarkan penjelasan riska. Padahal
dia sangat tau berapa umur dan tanggal kelahiran rizka, dan andi sangat
berharap riska mengetahui tentangnya, setidaknya riska sadar bahwa dia
adalah tetangganya dalam satu komplek yang tidak jauh jarak
rumahnya.Riska hanya diam, tidak terlalu menanggapi sambil berjalan
lurus.
Andi : "mbak aku kenal lho mbak sama paman mbak, aku juga kenal sama
kakak mbak" sambil berjalan memasukkan tangannya kedalam saku celananya
dan berjalan santai.
Riska : "maaf ya mas, saya memang tidak tau, kalau kita tetangga satu komplek, saya minta maaf"
Andi : "sebelum pulang kerumah, bagaimana saya traktir minum dulu
mbak, sekalian bincang-bincang supaya lebih akrab". Dahi rizka langsung
berkerut mendengar ajakan andi, tapi ia tidak marah, ia sangat sadar,
pemuda seperti apa yang sedang di depannya.
Riska : "tidak usah repot-repot mas andi, ini sudah sore sekali,
nanti saya di cari-cari kelamaan pulang. Sebaiknya kita langsung pulang
saja"
Andi : "mmmhhh, baiklah mbak, tapi lain kali kalau di traktir mau ya
mbak, besok siang bagaimana mbak? Saya traktir makan siang di sekitaran
komplek"
Riska : "tidak usah repot-repot mas, di rumah alhamdulillah makan siang selalu tersaji"
Andi : "kalau gitu gantian saja, mbak yang ngajak saya makan siang di rumah mbak"
Riska : "mungkin lain kali ya mas"
Andi : "ok mbak, saya tunggu ya.
Riska hanya menahan nafas mendengarkan perkataan andi. Dalam hati ia
menjerit, ya Allah lindungi hamba dari fitnah. Riska adalah sosok
wanita muslimah yang sangat pingitan, ia tidak suka glamor dan kebebasan
pergaulan lawan jenis. Ia lebih suka membaca buku bertumpuk di kamar
dari pada harus nongkrong bersama teman laki-laki, ia sangat tidak
nyaman dengan itu semua. Bahkan ia juga tipikal wanita yang tidak suka
di dekati laki-laki manapun, yang di dekati secara pribadi. Jika
hubungan relasi kerja, organisasi, tetangga baginya tidak masalah, tapi
kalau sudah berlebihan ia tidak nyaman.
Perjalanan sampai kerumah akan menambah waktu 1/2 jam lagi,
menggunakan bis kota, andi sedari tadi mengikuti saja kemana arah jalan
riska, mereka diam saja. Tidak lama bis datang, riska mempersilahkan
andi duluan ia menyusul di belakang. Bis kota sudah padat penghuninya,
cuma 1 bangku yang kosong, bangku kosong itu disebelahnya seorang
pemuda. Andi mempersilahkan riska duduk di bangku itu, namun riska
menolaknya, ia mempersilahkan andi saja. Riska memilih berdiri di bagian
belakang di sekitar ibu-ibu yang duduk. Andi hanya diam saja,
sebenarnya andi sangat paham riska perempuan seperti apa, namun dia
pura-pura tidak tahu saja, dan dia juga tidak terlalu ingin melihatkan
pribadinya bagaimana.
"Menulis adalah caraku melepaskan satu titik pikiran dan hati yang menjadi satu"- Helmi Yani