Selamatkan Diri dengan Memuliakan Tetangga!

Admin
0
gambar; thayyiba.com
Dalam menjalani kehidupan maka kita akan dihadapkan dengan hal-hal apasaja, termasuk hal bagaimana menjalani hidup bermasyarakat dan bertetangga. Semua itu diatur dalam ajaran agama kita, Islam. Bab bagaimana bertetangga tentulah bisa kita dapatkan dari mana saja ilmu tersebut, dari buku, artikel, ceramah ustadz dan banyak lainnya. Adapun, tulisan yang saya buat kali ini adalah sebagai pengingat bagi diri saya pribadi dan juga guna mempunyai arsip artikel mengenai tema ini.

Di manapun kita tinggal, pasti kita memiliki tetangga. Namun pada kenyataannya yang dijalani oleh siapa saja, banyak mungkin yang mendapati kehidupan bertetangga yang tidak enak bahkan menimbulkan perkelahian dan permusuhan. Ada yang memiliki tetangga yang baik, dan ada juga yang mendapati tetangga yang membuat risih. Memang demikian kodrat sifat manusia, ada yang baik dan ada juga yang tidak baik. Maka beruntunglah orang yang bertetangga dengan orang yang baik dan tidak terusik oleh kejahatannya.

Setiap kita adalah tetangga bagi tetangganya. Artinya, dalam menjalani kehidupan bermasyarakat sebagai pribadi, kita adalah seorang tetangga untuk orang lain. Maka, sesuai ajaran nabi, hendaklah  memposisikan diri sendiri sebagai tetangga yang baik, yang mana tidaklah terusik kehidupan tetangga oleh sikap dan perlakuan kita. Sebagai manusia yang bermoral, maka lebih baik kita menuntut diri sendiri guna menjadi tetangga yang baik.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Tidak masuk surga seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6016) dan Muslim (46). Bahkan, keimanan seseorang menjadi taruhan atas baik atau tidak sikapnya terhadap tetangga.

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak kondusif dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘.” [HR. Bukhari no.6016, Muslim no.46]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan ihwal Bawa’iq : “Bawa’iq maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak kondusif dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah”.

Nah, begitulah bunyi hadist terkait bagaimana kita semestinya memberikan rasa aman kepada tetangga, termasuk menjaga lisan untuk tidak mengusik mereka. Dan masih banyak hadist lainnya yang membahas bagaimana bersikap dengan tetangga, serta hak-hak tetangga yang harus kita tunaikan. Bahkan karena sangat pentingnya bersikap baik dengan tetangga, Rasulullah sempat mengira, tetangga akan dijadikan sebagai ahli waris. Hal ini diungkapkan oleh Aisyah ra.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Jibril terus menerus berwasiat kepadaku untuk berbuat baik terhadap tetangga, sampai-sampai aku mengira dia akan menjadikannya sebagai ahli waris”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6014) dan Muslim (2624).

Ketika kita mengakui beriman kepada Allah dan hari akhir, maka secara otomatis kita pun harus memuliakan tetangga, karena  'saking' besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim. Sebuah hadist, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” [HR. Bukhari no. 5589, dan Muslim no.70].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an Al-Kariim:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, belum dewasa yatim, orang-orang miskin, tetangga yang mempunyai hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” [QS. An-Nisaa: 36]

Sangatlah jelas, ketika kita tidak mampu berbuat banyak yang baik kepada tetangga, maka setidaknya jagalah diri kita untuk tidak menyakiti mereka dengan lisan dan sikap kita. Jaga perasaan mereka dari lisan dan perbuatan kita. Sebagaimana kita, yang juga tidak suka diganggu dan disakiti oleh siapapun. Jika tak mampu bersikap dan banyak berbuat baik maka tahanlah diri untuk tidak menyakiti siapapun. 
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)