Seandainya...... Tak Pantas....!?

Admin
0

 

gambar ; muslim.or.id


Sepanjang hidup yang telah kamu lalui, tak mengapa kamu merasa kecewa dengan seseorang. Itu adalah rasa yang manusiawi. Kekecewaan itu timbul karena tidak sesuainya antara harapan dan kenyataan. Mungkin kecewa pada teman, rekan, sahabat ataupun kolega. Itu hal biasa. Yang perlu kamu lakukan hanyalah lupakan masalah yang membuat kamu kecewa, tidak perlu meluangkan harapan kepada subjek tersebut. Adapun terhadap objek yang menjadi target dasar kecewa itu tetap harus kamu perjuangkan. Karena persoalannya bukan pada objek tapi pada subjek. 


Terkadang juga terdapat rasa kecewa yang sulit untuk dilupakan. Karena persoalannya ketika kita diandaikan menjadi sesuatu hal yang mustahil. Seandainya kamu laki-laki. Apakah patut kata perandaian menjadi tolak ukur dalam bersikap? Seandainya kamu laki-laki. Kata kata ini menjadi momok yang sangat membekas di dalam hati. Lantas kenapa jika saya perempuan? Bukankah dalam profesi, bisnis, pendidikan, lingkungan dan masyarakat laki-laki dan perempuan sudah sama-sama memiliki hak yang sama? Lantas kenapa mesti ada kalimat seperti itu. 


Kata perandaian juga tak layak diucapkan oleh orang yang mengaku beriman. Sungguh tidak layak. Berandai-andai itu temannya setan. Seandainya, bukan kata yang patut keluar dari lisan orang yang beriman. Seandainya, itu kalimat diluar jangkauan pikiran manusia. Tidak baik berandai-andai. Tidak ada faedah dan manfaatnya. Seandainya kamu, seandainya saya, seandainya kita, dll. Bukan kata dan kalimat yang wajar untuk diucapkan. Untuk apa berandai-andai. Itu hanya khayalan, fiktif. 


Sedangkan kita manusia makhluk nyata yang dihadapkan dengan segala hal dan persoalan yang nyata. Dengan segala hal yang nyata yang harus disikapi dengan sikap nyata, bukan sikap andai-andai. Andai-andai itu jika kita hidup di dunia dongeng. Atau di dunia fiksi atau dijadikan pemeran utama dalam cerita novel. Masih ingin pakai kata seandainya dalam kehidupan nyata yang dijalani? Jangan seperti orang yang kurang berkarakter, hidup bukan di dunia dongeng, seandainya dan berandai-andai. 


Kembali ke topik. Seandainya kamu laki-laki. Yang logis saja jika berbicara. Di zaman Nabi Muhammad pun persoalan ini sudah diselesaikan. Dulu sebelum Rasulullah SAW diutus tidak ada satupun yang menginginkan anak perempuan. Hingga Umar bin Khattab pun mengubur hidup-hidup anaknya yang perempuan, karena malu dengan memiliki anak perempuan. Seandainya kamu laki-laki. Itu kan tidak mungkin sekali. Emangnya nasi yang terlanjur kebanyakan air bisa diolah menjadi bubur ayam? Kata seandainya hanya buaian setan. 


Stop berandai-andai. Apapun itu situasi dan kondisi. Kita hidup di dunia nyata. Maka hadapilah kenyataan dengan sesadar sadarnya. Bukan perandaian. Bercita-cita boleh, tapi berandai-andai tidak boleh. Itu dua hal yang berbeda. Seandainya adalah kata hal yang mustahil untuk dijadikan nyata. Apalagi kalimat, seandainya kamu laki-laki, padahal kenyataannya, kamu tersebut adalah perempuan. Sama juga hal nya dengan kisah fiksi dalam sebuah sebuah cerita. Ketika seorang suami menginginkan anak laki-laki, tapi yang lahir adalah anak perempuan. Karena tidak menerima kenyataan, pada akhirnya dia menceraikan istrinya. 


Hai, kamu kehilangan akal waras ya? Memangnya yang menciptakan manusia siapa? Emang bisa manusia membuat jenis kelamin sesuka hatinya? Atau kisah, suaminya nikah lagi, karena ingin punya anak laki-laki, Hai. Memang kamu bisa menjamin bakalan dapat anak laki-laki jika menikah lagi dengan si B? Aduh, gimana itu pola pikirnya. Gak masuk di akal. Siapa yang bisa menjamin si B bisa memberikan keturunan laki-laki? Apa bisa dikalkulasikan begitu? Siapa yang bisa menjamin besok hari kita masih hidup? Tidak ada jaminan akan hal itu. 


Jadi stop, berfikir di luar kemampuan dan batas akal manusia. 

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)